Ketika aku menjadi wanita dari Ipanema dan ia pun menjadi merah, seperti Manchester United.
Entah. Aku tidak tahu.
Elegi yang terdapat di kedua insan karunia Tuhan itu, makin lama makin membaik.
Terlintas di alam bawah sadar apakah ini merupakan suatu kejutan?
Atau... suatu peringatan?
Peringatan akan hal yang tidak kita sadari, menjadi cambuk untuk tetap mempertahankan sanubari
Perjalanan kian mendapatkan berbagai warna, seperti pelangi.
Atau lollipop? Atau krayon?
Yang tahu hanya aku. Kamu. Kita. dan Tuhan.
Warna tidak dapat dijelaskan satu persatu apa maknanya.
Aku. Kamu. Kita. Bahkan Tuhan pun. Memaknai warna secara sendiri-sendiri.
Kini,
Ia berubah menjadi sosok pria yang dirindukan.
Ia berubah menjadi sosok pria yang terus dinantikan.
Tapi,
Ia takkan berubah menjadi biru, kuning, hijau, ataupun nila.
Ia tetap merah.
Merah, seperti Manchester United.
Level dalam permainan ini akan terus bertambah.
Semakin sulit, semakin susah, semakin bisu.
Kadang,
Tak kuasa indera penglihatanku muntah karena pilu.
Seluruh tubuh terus menghempaskan segala sesuatu dari kalbu.
Tapi itu dulu, lain waktu, bukan diriku.
Aku yang kamu tahu. Kamu yang aku tahu.
Wanita Ipanema yang kau tahu. Pada waktu itu di gerai minuman asam.
Terus memberikan semangat '45, sama seperti pejuang demi kemerdekaan kelak.
Teruskan. Lanjutkan. Ikrarkan.
Sampai keringat terakhir membanjiri pori-pori.
Kamu bisa.
Untuk gigantisme pembawa tawa,
Panji Rahadi.
1 comment:
pirikitiw!
Post a Comment