Tuesday, February 22, 2011

Sama

"I'm fucked up! Very very fucked up. Senasib kita! Toss! *emoticon beer*"

Saya mendapati pesan itu pada waktu dini hari dan baru membacanya sekitar lima jam setelahnya. Perasaan yang sama telah dirasakan oleh salah satu sahabat saya yang telah berupaya untuk "melayani' sang putri. Buang waktu, percuma, dan sia-sia. Apa yang telah ia lakukan tidak berujung pada logika yang sejalan. Saya paham benar bagaimana seorang dia memperlakukan hawa melalui caranya. Tidak klise, bahkan terlalu indah.

Berbagai deretan lagu saya berikan kepadanya untuk penambah rasa semangat demi melewati hari ini. Banyak cerita tentang dirinya dan seseorang-yang-hampir-menjadi-venusnya yang saya abadikan dalam otak yang bernama memori. Kini cerita tersebut tak tahu lagi arahnya kemana, detil cerita pun tak sanggup ia katakan.

"Sudah biasa", katanya singkat. Hal ini lah yang membuat ia kuat dalam menjalani lika-liku kehidupannya. Ia mementingkan darah dagingnya terlebih dahulu, ini yang sangat membuatnya menutup sebelah mata melihat keadaan sekitar.

Yang terbaik untuk lo aja.

You know who you are.

Monday, February 21, 2011

Gelas

Sekitar kurang lebih 24 jam yang lalu, saya berada di dalam sebuah jurang kehidupan yang cukup bahaya untuk dihadang. Tapi mau tidak mau, harus dihadang. Karena itu memberikan sebuah pelajaran kehidupan untuk masa depan. Lagi-lagi bicara soal kepercayaan, dimana kepercayaan dipertanyakan di dalam sebuah wadah, yang hanya berbatas pada suatu ruang. Sayangnya wadah tersebut adalah sebuah gelas yang sangat cantik, yang telah dipecahkan hampir satu tahun yang lalu. Pontang-panting untuk mencari lem, selotip, dan perekat lainnya untuk membuat gelas tersebut utuh dan bisa dipakai demi satu tujuan, minum.

Setelah dipecahkan, gelas tersebut tetap akan memiliki satu bekas yang tidak akan pernah bisa hilang. Susah untuk menghilangkan, bukan susah, malah tidak bisa. Sekarang, gelas tersebut semakin hancur berkeping-keping. Saya tidak tahu lagi harus mencari lem, selotip, serta perekat lainnya kemana. Rasanya badan ini lunglai setelah mengetahui gelas yang sama, jatuh untuk kedua kalinya. Kelopak mata sudah tak sanggup ikut berbicara, meski bibir tak berhenti bergetar hebat untuk kedua kalinya. Ya kedua kalinya. Apa yang ada di benaknya ketika memecahkan gelas ini? Sekali lagi, untuk kedua kalinya.

Gelas yang saya berikan tidak gratis. Tidak gratis yang saya maksud adalah saya memberikan gelas tersebut memang secara cuma-cuma, tapi dengan penuh harapan dan sebongkah senyuman.

Berbagai alasan dilontarkan tidak karuan, tidak sesuai dengan rel yang sudah dibuat. Barikade pun tidak cukup kuat untuk melindungi hantaran-hantaran yang datang bertubi-tubi. Peluang emas memang ada, tapi banyak cara untuk bisa mencapai Cina bukan? Tidak harus melihat apa yang tidak kelihatan, tapi menjaga apa yang sudah terlihat.

Perasaan ini tidak tahu arahnya kemana. Seorang kerabat berkata, "Buat apa tetap diperhatikan tentang keberadaan gelas itu kalau gelasnya semakin pecah?" Saya hanya bisa diam, tidak membalas satu kalimat pun. Oh, bahkan satu kata pun tidak sanggup saya ketik. Tiga jam berada di alam bawah sadar membuat mata yang harusnya bisa ikut berbicara, menjadi tak kuasa untuk tetap melakukan posisi horizontal. Sekitar lima jam kemudian batin pun tergerak. Hanya satu kalimat sambil menghela nafas, "Komitmen dan cinta. Hanya dua itu yang membuat kuat". Tak sanggup menahan, pipi ini menjadi sungai kebahagiaan sekaligus kesedihan.. Ironi.

Saat ini, saya tidak bisa berbuat banyak. Tidak bisa berperilaku layaknya biasa-biasa saja. Saya adalah saya. Transparan. Saya tidak akan pernah bisa dan tidak akan pernah mau menjadi abu-abu, coklat, merah, bahkan hijau yang merupakan warna yang saya agungkan.

Saya hanya berharap, gelas tersebut masih baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan orang yang telah memberikannya dengan penuh perjuangan.